Halaman

Rabu, 30 November 2016

Arif Sang Pendekar (cerpen tema perjuangan(

Cerpen karya temanku Dian Arista. Dia memang benar-benar hebat dan patut kita kagumi. Dibalik sifat egois dan kejailannya, dia menyimpan cita-cita besar. Betapa hebat temen kita ini.
Ya udah.... cusss baca aja curhatannya. Temanku, Dian ini nyamar jadi Arif. Wkwkwk

Dian jangan marah ya, karena tulisanmu aku post. Hehe.
...

Oke...cuss ini cerpennya. Muah muah

Di pagi yang cerah di hari yang berkah , seperti biasa kegiatan ma’had sudah dimulai. Tanpa di suruh, pengurus sudah mulai melakukan kewajibannya membangunkan para santri untuk melaksanakan kewajiban rutin setiap umat Islam di pagi hari. Lain dari para santri yang lain, arif merupakan santri paling rajin. Ketika semua masih tidur, dia sudah terbangun untuk memahami keheningan sepertiga malam dengan bersujud dan berdo’a kepada Allah. Dia sadar bahwa dia tidak akan bisa sukses di masa depan nanti tanpa bantuan dari Allah karena dia sadar bahwa dia bukanlah dari keluarga kaya yang sudah terjamin masa depannya. Arif lahir dari keluarga yang perekonomiannya pas – pasan, bisa di katakan dia merupakan mahasiswa yang beruntung karena hanya mendapat UKT 400.000 sehingga dia bisa merasakan bangku perkuliyahan. Dengan kesempatan besar itulah, arif tidak membiarkan waktunya terbuang sia – sia. Dia selalu mengisi waktu luangnya untuk kegiatan yang bermanfaat.

Arif adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Dia memilih jurusan itu bukan tanpa alasan. Selain ingin bisa berbahasa arab, dia juga ingin bisa lebih memahami ma’na dan maksud dari kitab suci Al – qur’an. Selain itu, dia juga ingin mewujudkan cita – cita yang sebagian besar orang menganggapnya itu adalah suatu hal yang mustahil baginya karena orang tuanya yang berekonomi pas – pasan. dia ingin melanjutkan pendidikan S2 di Al – Azhar Kairo Mesir. Impiannya itu bukan hanya angan – angan semata karena dia selalu bersungguh – sungguh dalam belajar dan juga senantiasa berdo’a dengan sepenuh hatinya.

Dalam kuliyah, arif adalah salah satu dari mahasiswa yang berfasilitas kurang dan hanya satu – satunya mahasiswa di kelasnya yang tidak punya laptop. Dia juga satu - satunya mahasiswa yang tidak punya motor. Dalam perjalanan menuju kampus, dia selalu mengandalkan kebaikan temannya yang bawa motor untuk pergi kuliyah bersamanya. Dia terkadang juga menggunakan angkot sebagai sarana transportasinya mencari ilmu. Dia selalu berpikir dua kali jika akan naik angkot karena ongkos naik angkot sendiri bisa digunakan untuk makan satu hari. Tak jarang dia juga berjalan kaki menempuh jarak 5 km jika tidak ada teman yang mempunyai jadwal sama dengannya dan uang sakunya tinggal bisa dihitung dengan jari. Semua perjuangan itu dilakukan arif karena dia tidak ingin membuat orang tuanya kecewa dan dia tau bahwa orang tuanya di sana bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang hanya untuk membiayainya kuliyah.

Dengan kondisi perekonomian keluarga yang demikian, Arif berusaha meringankan beban orang tua dengan berusaha mencari beasiswa yang ada di kampus. Pertama ia mencoba beasiswa yang di perebutkan oleh mahasiswa lain, yaitu bidikmisi. Bidikmisi adalah beasiswa untuk mahasiswa yang tergolong kurang mampu. Untuk memperoleh bidikmisi ini, harus mengumpulkan syarat – syarat dan harus melewati 3 tahap. Tahap pertama yaitu mengumpulkan berkas – berkas. Begitu pendaftaran bidikmisi dibuka, tanpa pikir panjang Arif langsung mengumpulkan berkas – berkas persyaratan bidikmisi tersebut secara lengkap.

Pengumuman hasil seleksi tahap pertama pun di umumkan dan Arif adalah salah satu mahasiswa yang lolos tahap pertama. Setelah seleksi tahap pertama selesai, dilanjutkan dengan seleksi tahap kedua yaitu tes wawancara. Dalam seleksi ini, Arif di wawancarai mengenai kondisi keluarganya serta kondisinya selama berada dan kuliyah di Salatiga ini. Arif menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan jujur. Setelah seleksi tahap dua di umumkan, nama Arif masuk sebagai salah satu mahasiswa yang masuk dan lolos dalam seleksi tersebut. Dan yang terakhir adalah seleksi tahap tiga. Seleksi ini berupa home visit ( kunjungan ke rumah ). Di desa kertomulyo, rumah Arif yang sederhana pun dikunjungi. Disana para dosen yang bertugas menyurvei rumah, berbincang – bincang panjang lebar dengan keluarganya Arif. Setelah semua seleksi selesai dilakukan, pengumuman tahap finalpun di umumkan. Dari 110 mahasiswa yang lolos bidikmisi, nama Arif tidak ada di salah satu mahasiswa tersebut. Betapa sedih dan terpukulnya Arif ketika itu.

Sampai – sampai di dalam benaknya terlintas pikiran untuk tidak melanjutkan kuliyah lagi karena dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Semalam penuh Arif merenung dan tak jarang meneteskan air mata. Teman – teman Arif pun silih berganti menyemangati dan memotivasinya. Begitupun kakak kelas yang dulunya mengalami nasib yang sama dengan Arif soal bidikmisi.

Di sepertiga malam, Arif curhat dengan Allah lewat shalat tahajud. Arif mengungkapkan semua keluh kesahnya dan semua harapannya dengan air mata yang mengalir di pipinya. “ Ya Allah.. kenapa jadi begini..?? apakah aku kuat dalam menghadapi ini semua..?? aku tidak ingin menyusahkan kedua orang tuaku dalam membiayai kuliyah dan kehidupan sehari – hariku disini ya Allah.. Ya Allah.. berilah hambaMu ini kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan untuk menghadapi ini semua Ya Allah.. Ya Allah.. luaskanlah rizki orangtua hamba Ya Allah.. mudahkanlah mereka dalam mencari nafkah untuk membiayai semua kebutuhan hidup termasuk membiayai kuliyah dan keseharianku disini Ya Allah.. Ya Allah.. berilah aku kesuksesan di masa depan nanti Ya Allah.. supaya hamba dapat menaikkan haji kedua orang tua hamba Ya Allah.. amiin” ( do’a Arif dalam shalatnya ).

Keesokan harinya, kesedihan Arif pun berangsur – angsur hilang. Dia mencoba mengikhlaskan itu semua. Dia tahu bahwa Allah selalu mempunyai rencana yang paling baik untuk hambaNya. Mungkin jika dia memperoleh bidikmisi malah akan tidak baik untuknya. Dia tahu bahwa rizki setiap orang itu sudah di tetapkan semenjak orang itu berusia 4 bulan dalam kandungan. Jadi, sekuat apapun dan sekeras apapun usaha yang dilakukan, mustahil akan tercapai jika memang itu bukanlah rizki orang tersebut. Dengan pengetahuan sekaligus motivasi tersebut, Arif seperti mendapat cahaya baru setelah diterpa gelapnya awan hitam. Dia menjalani hari – harinya dengan penuh semangat. Dia melupakan bidikmisi dan mencoba mencari beasiswa lain. Dan targetnya selanjutnya yaitu dipa. Dia berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa berprestasi itu. Ia belajar dengan giat untuk mendapat IP 4,0 , karena beasiswa dipa minimal IP harus 3,7. Semua tugas dari dosen selalu dia kerjakan. Dan dia tidak pernah lupa berikhtiar dengan cara belajar dengan giat terutama menjelang ujian akhir semester. Dia juga tidak lupa menghafalkan Al – Qur’an karena dia tahu bahwa syarat s2 ke Timur Tengah adalah hafal beberapa juz dalam Al – Qur’an. Semester satu pun telah berlalu, IP Arif pun keluar dan  memang benar bahwa hasil selalu berbanding lurus dengan usaha. Arif mendapat IP 4,0 , betapa bahagianya dia ketika usaha kerasnya berbuah manis. Meskipun dia mendapat hasil yang memuaskan, tapi dia tidak berpuas diri karena ini baru permulaan. Dia berusaha keras lagi agar bagaimana dia bisa mempertahankan prestasinya itu.

Semester 2 pun dilaluinya dengan baik juga dan hasilnyapun sama dengan semester pertama. IP yang sempurna pun kembali diperolehnya.
Memasuki semester 3, beasiswa dipa pun di buka. Arif langsung secepat kilat mencari informasi tentang persyaratan – persyaratan yang dibuthkan untuk mendaftar. Setelah semua berkas lengkap, ia pun mengajukan pendaftaran beasiswa dipa. Ikhtiar dengan maksimal telah di lakukannya. Sekarang yang harus dilakukan Arif adalah tawakkal dan senantiasa berdo’a sambil menunggu pengumuman. Setelah tiba waktu pengumuman, Arif lolos beasiswa dipa.

Hari ini adalah hari Rabu, ini adalah hari yang paling spesial dan paling di tunggu – tunggu oleh Arif selama 4 tahun kuliyah di IAIN Salatiga. Karena pada hari ini, acara wisuda akan dilaksanakan dan Arif adalah salah satu wisudawan dari prodi PBA (Pendidikan Bahasa Arab). Betapa bahagianya Arif pada hari ini karena apa yang dia perjuangkan dengan sungguh – sungguh itu berbuah manis. Selain lulus dengan nilai yang memuaskan, Arif juga menjadi wisudawan terbaik. Tetesan air mata pun tidak bisa dibendung lagi oleh Arif dan kedua orangtuanya. Karena dia tidak menyangka bisa menyelesaikan kuliyah meskipun dia dari keluarga yang pas – pasan dalam perekonomian. Hal ini bisa di lakukannya karena dia percaya bahwa Allah akan selalu bersamanya dan tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.
“Ibu, bapak.. terima kasih sudah membiayaiku selama kuliyah ini. Padahal  aku tahu bahwa kewajibanmu hanyalah menyekolahkanku sampai MA / SMA saja. Terima kasih juga pak, buk sudah selalu mendo’akanku dalam setiap sholatmu.” ( kata Arif kepada orangtuanya ketika sudah selesai acara prosesi wisuda ).

Selasa, 29 November 2016

Penulis Hebat dan Keluar dari Zona Aman

Gedangan(30/11), Aku adalah anak desa yang mencoba sedikit pergi dari zona aman.

Bukan saja hidupku yang tidak pernah stay berada di zona nyaman. Sejak kecil aku dididik ayahku untuk berani. Berani dalam mengambil keputusan, berani melakukan kebaikan, berani berdemokrasi, dan berani keluar dari zona aman.

Aku gak pernah dimanja-manja. Aku selalu dididik untuk mandiri dan gak tergantung sama orang lain.
Ibuku selalu mengajarkan untuk selalu mengingat Allah SWT, bersama Allah SWT, dan senantiasa mencari ridho Allah SWT.

"Orang tuaku adalah segalanya bagiku."
Menurutku, pendidikan yang telah mereka ajarkan sangatlah hebat.

Aku pengen cerita, Ayahku adalah ayah yang sangat hebat. Beliau lulusan SMEA, sekolah sederajat dengan SMA. Pada zaman itu, bisa meneruskan sekolah sampai SMA adalah hal yang langka.
Ayahku terlahir diantara keluarga yang tidak mampu. Ayahku adalah anak kelima dari 7 bersaudara. Keluarga ayahku termasuk keluarga yang paling tidak mampu di desaku. Tidak punya sawah, tidak punya ternak, tanah pun hanya kecil. Namun, semua itu tidak pernah menyurutkan semangat anak-anaknya untuk menuntut ilmu. Tak terkecuali adalah ayahku.
Dari SD ia sudah bekerja mencari uang. Ikut menjadi buruh, mencari rumput untuk dijual, dll. Ketika SMP, ia ikut bekerja di rumah orang agar disekolahkan. Bangun pagi, menuntun sapi berkilo-kilo meter jauhnya adalah rutinitasnya setiap hari.
Permasalahan besar terjadi saat lulus SMP. Ayahku tdk punya uang untuk meneruskan ke SMA.
Akhirnya ayahku pergi ke Jakarta, disana ayahku bekerja menjadi tukang ojek. Selama setahun, ayahku kumpulkan uang untuk biaya sekolah. "Aku ki melas banget angger weruh cah sekolah SMA, kapan aku isoh ngunuwi." Tak jarang ayahku sampai menangis.
Satu tahun berlalu, ayahku pun bekerhs dengan orang lagi dan melanjutkan sekolah.

Allah...Allah...Allah...Allah...Allah

Ayah ean ibu...atau yang biasanya aku panggil Bapak dan Mamak. Rmm
Maafkan aku jika aku belum bisa membanggakanmu, menjunjung tinggi namamu, mengahrumkan namamu.

Aku berjanji Bapak Mamak.

AKU AKAN MENJADI PENULIS HEBAT. INGAT JANJIKU.
AKU AKAN MENJADI PENULIS HEBAT. MENULIS RIBUAN ARTIKEL, RATUSAN KARYA ILMIAH, DAN PULUHAN BUKU.

Bapak mamak..sekarang aku berada di zona yang sangat ekstrem. Kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Padahal, background pendidikanku apa.
Mengenal bahasa arab pun baru disini.

Mamak Bapak....rasanya aku pengen nangis. Emang udah nangis kalekkk. Aku merasa menjadi orang terbodoh di kelas. Hafalan juz 30 aja belum tuntas.

Dari dulu aku memang gak pernah milih di zona aman.
Entah apa maksutnya.

Kebiasaan yanh menyebabkan semua hal-hal buruk terjadi adalah KETIDAK DISIPLINAN.
Teorinya sih gampang.

Kuliah, ngajar, modok, organisasi.
Apakah aku sehebat itu, sehingga semuanya bisa seimbang?
Jawabannya adalah belum.
Segera terwujud pokonya.

Sabtu, 26 November 2016

Dunia Baru

Salatiga, (26/11) Aku pergi ke lembaga pers mahasiswa kampus. Aku sodorkan 2 berita hasil kerjaku. Tanpa aku duga, 3 lembar kertas yang masih hangat itu dilempar oleh Mas Husain. Sembari dia berkata "Berita apaan ini, bikin lagi. Wartawan kok nulisnya acak adul kayak gini. "Mendengar kata itu, hati ini rasanya teriris-iris. Namun, masih ada kakak yang baik hati. Ia mau mengoreksi beritaku. Ia jelaskan satu persatu kesalahanku. Hatiku yang masih gemetar, menerima kelembutan hati dari Kak Sinta.

Minggu, 02 Oktober 2016

MASA LALU BIARLAH MASA LALU (Cerpen tema Cinta)

MASA LALU BIARLAH MASA LALU
(Anik Meilinda)

Ceritaku dimulai dari Bulan Ramadhan tahun lalu. Aku pergi ke rumah guru ngajiku. Tanpa aku sangka, anak laki-lakinya yang lagi nyantri di salah satu pondok terkenal di Jawa Timur itu pulang. Aku sudah banyak dengar tentang dia. Ya, tentu dari guruku itu. Aku dengar dia anaknya pendiam, pintar, dan penyayang. Tidak ada yang terjadi waktu itu. Seperti orang biasa yang gak kenal satu sama lain. Cuma saling tau doang.
Ibunya sering banget cerita tentang anak laki-lakinya itu kepadaku. Mulai dari sekolah di sana, kehidupan di sana, perjuangan belajar di pesantren, sampai hukuman-hukuman yang ada di sana. Aku sih tertarik aja denger cerita kayak gitu. Lama-lama aku makin tau, dan makin penasaran. Aku pernah berpikir kenapa aku tidak tanya langsung sama dia, lagian dia kan sepantaran sama aku. Kita sama-sama kelas 2 SMA, walaupun umurku lebih muda satu tahun dari dia. Tapi aku mikir lagi, masak iya aku mau ngobrol sama cowok yang katanya alim banget itu. Biasanya kalau aku ngobrol sama siapapun, aku gak pernah punya rasa malu, sungkan, dan lain sebagainya. Aku itu mikirnya begini, kalau aku emang penasaran dan pengen tau tanya aja. Gak usah kebanyakan mikir. Tapi, kali ini aku pertimbangin mateng-mateng. Mikir berat.
Besok harinya, aku dihubungin sama humas organisasi perkumpulan perantauan desaku. Dia bilang, idul fitri nanti akan ada halal bihalal. Aku disuruh buat menjadi qiro’ sekaligus melaporkan kegiatan-kegiatan di TPA desaku. Kenapa harus aku? Mereka bilang, karena aku guru TPA sekaligus seksi agama di Karang Taruna. Waktunya singkat banget. Cuma 2 hari sebelumnya.
Sore harinya, aku pergi ke rumah guruku lagi.  Kita ngomongin acara besok malem. Jujur aja aku gak pengen ngapa-ngapain di acara itu. “Us, sepertinya akan lebih baik jika ustadzah yang melaporkan kegiatan-kegiatan TPA dan Mukhlis yang menjadi qiro’.” Tanpa aku duga, guruku itu langsung manggil anaknya. Hah..kita diskusi deh. Yakin aku bingung plus blank sama alasan-alasan yang udah aku persiapkan sebelumnya. Raaaarr.
Diskusi berakhir garing plus krik gara-gara aku kehilangan kata-kata. Yang aku heranin. Dia keluar dari kamarnya dengan keadaan celometan, kayaknya sih kena cat air. Dalam batinku, dia habis ngapain sih? Yakin bikin penasaran aja. Cowok yang katanya alim itu, gak banyak kata-kata. Awalnya dia menolak dengan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya dia setuju. Mungkin dia berpikir bahwa dia harus taat pada ibunya. Mungkin? Hal yang berbeda ditunjukan oleh guruku. Dia tetep mempercayakan laporan itu kepadaku. Hah. Aku udah gak bisa bantah lagi. Energiku hanya tersisa buat ngangguk-ngangguk aja.
“Udah mau buka puasa, buka disini aja?” Cowok yang katanya alim itu ngomong kayak gitu. Dia ngomong kayak gitu waktu aku udah mau enyah dari sofa empuknya. Astaga naga, maksudnya apa? Spontan aku cuma menggelengkan kepala sembari tersenyum. Aku segera beranjak pergi. Sampai-sampai aku lupa mengucapkan salam. Setelah diluar, aku langsung nyalain sepeda  motor dan meluncur cepat secepat awan kinton. Aku harap guruku itu gak menangkap gelagak anehku tadi. Aku juga bingung sama hal yang terjadi tadi. Bingung maksimal.
Acara itu tiba juga. Seperti yang telah direncanakan. Aku cukup melaporkan kegiatan dan prestasi anak-anak TPA sedangkan cowok alim itu gantiin aku buat jadi qiro’. Sebelum acara dimulai. Aku sudah bilang sama pembawa acaranya kalau aku gak jadi menjadi qiro’. Aku diganti cowok yang katanya alim itu.
“Acara yang selanjutnya adalah pembacaan ayat suci AL-Quran, yang akan dibacakan oleh saudara Mukhlis.” Gema suara pembawa acara itu membuat jantungku berdebar dengan sangat cepat. Aku berusaha menenangkan diri dengan menutup mata dan menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Aku gak siap kalau temen-temen yang ada di sampingku menangkap gelagak yang aneh dariku. Satu menit berlalu. Suara indah Al-Quran belum juga terdengar dari telingaku. Saat aku membuka mata, aku sangat terkejut. Semua orang berkerumun menuju ruangan utama. “Woi, Han kayaknya ada yang terjadi deh sama si Mukhlis,” teriak Afiifah dengan mengoyang-goyangkan pundakku. Aku hanya dapat diam. Pikiranku melayang kemana-mana. Acara menjadi kacau.
Saat aku masih terdiam dalam duduk. Terlihat seorang laki-laki paruh baya membelah kerumunan orang dengan membopong seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah Mukhlis.
Aku masih di posisi yang sama. Duduk di depan ruang utama. Setelah suara mobil menghilang dengan membawa laki-laki itu, pembawa acara berkata, “Sudah-sudah acara akan dilanjutkan. Jangan khawatir. Mukhlis akan segera mendapatkan penanganan yang tepat. Kita doakan saja semoga ia baik-baik saja.” “Kita lanjutkan acaranya ya. Acara yang selanjutnya, pelaporan kegiatan TPA oleh saudara Hanny.”
Acara berakhir  dengan suka cita. Berbeda dengan semua orang wajah guru ngajiku itu terlihat  gelisah dan sedih. “Kenapa Ibu tidak ikut ke rumah sakit? Pasti Ibu ingin melihat keadaan Mukhlis sekarang kan? Yang sabar ya Bu semoga Mukhlis baik-baik saja,” kataku sembari menggenggam tangan gemuknya.
Malam itu perasaan dan pikiranku seakan-akan mengompakkan diri. Perasaan dan pikiranku gak karuan. Hingga pukul 00.00 mataku belum juga dapat beristirahat. Sampai akhirnya aku menemukan jalan keluar. Aku shalat 2 rakaat dan setelah itu perasaaan dan pikiranku sedikit membaik sampai akhirnya tertidur.
Keesokan harinya masih dalam suasana Idul Fitri. Desaku melakukan tradisinya, saling mengunjungi rumah satu sama lain lalu semuanya berkumpul di rumah Bapak Haji Sulaiman, orang yang dihormati di kampung kecilku. Saat disana, aku bertemu dengan Rida, adiknya Mukhlis. “Mbak, kata umi nanti mbak disuruh nganterin Umi pergi ke Rumah Sakit.” Saat Rida berkata itu, aku sedang menikmati segelas es buah yang dihidangkan. Dengan sekejap mangkuk esku seketika tumpah di tikar. “Mbak Hanny, bisa kan?” “Iya iya emangnya jam berapa?”  kataku sambil membersihkan es buah tumpah tadi. “Nanti habis dhuhur.”  “Ya.”  Saat aku masih sibuk dengan kain lap, Rida sudah pergi meninggalkanku.
Adzan dhuhur berkumandang. Adzan dhuhur yang beberapa hari ini dikumandangkan oleh Mukhlis. Hari ini tidak lagi karena ia sedang terbaring di Rumah Sakit. Aku bergegas mandi, shalat lalu merapikan diri. Jantungku berdebar sangat kencang, perasaanku aneh dan aku memikirkan apa yang harus aku lakukan ketika disana nanti? Tak henti-hentinya aku memikirkan hal itu. Hingga sebuah suara yang sangat aku kenal memanggilku. Rida berteriak sambil membunyikan tlakson sepedanya, “Mbak Hanny umi sudah siap mau berangkat ‘kring-kring’ Mbak Hanny nanti ke rumahku ya!” Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan perkataannya.
Tak lama kemudian, Aku berada di rumah Rida. Ada yang aneh saat aku melihat barang bawaan yang dibawa oleh guru ngajiku itu. Beliau membawa kuas, cat minyak, lipatan kanvas beserta kayu penyangganya dan barang-barang lain yang tidak aku ketahui namanya. Wajah beliau sangat sedih dan gelisah. Sehingga aku tak berani banyak tanya seperti biasanya. “Tolong bawakan ini Nak Hanny, Umi  mau mengambil baju gantinya Mukhlis.” Ekspresiku yang biasanya riang tanpa beban. Saat melihat Umi seperti ini seketika ikut menjadi sedih.
Selama perjalanan aku tak henti-hentinya membayangkan hal yang terjadi dengan Mukhlis dan bertanya-tanya sebenarnya dia itu sakit apa?
Ketika sampai di Rumah Sakit. Tiba-tiba  perut Umi terasa sakit. Mungkinkah guru ngajiku itu akan melahirkan, mengingat usia kandunganya yang sudah menginjak 9 bulan. Spontan aku berteriak meminta tolong. Umi segera ditangani oleh dokter. Sedangkan aku di  ruang registrasi. Saat aku ditanya siapa yang bertanggung jawab atas Umi? Aku bingung banget, lalu aku ceritakan apa maksud kami datang kemari. “Jadi suami ibu itu ada di sini?” “Benar.” “Nama anaknya yang sedang dirawat siapa?” Petugas itu terlihat sibuk dengan komputer di depennya. “Namanya Mukhlis,” jawabku singkat. Tubuhku masih gemetar karena kejadian tadi. “Ya sudah, terima kasih Dik, nanti kami akan menghubungi suaminya. Adik sudah boleh keluar.”
Tak lama kemudian aku melihat Ayahnya Mukhlis berjalan ke arahku. “Sebenarnya apa yang terjadi Han?” Nada bicaranya menunjukan betapa gelisah perasaanya. Aku menjawab, “Sepertinya Umi akan melahirkan, sekarang beliau sedang di ruang bersalin.” “Alkhamdulillah kalau begitu. Aku akan mengurus registrasinya dulu. Setelah itu aku akan pergi ke ruang bersalin.” Aku bertanya, “E…maaf…terus barang-barang itu mau dibawa kemana?” “O iya. Ya udah begini saja. Aku akan membawa barang-barang itu ke kamarnya Mukhlis dulu.” Aku masih terdiam di kursi. “Lho kenapa kamu diam saja? Ayo ikut.” Hah aku ikut. “Ikut kemana?” “Tentu saja ke ruangan dimana Mukhlis dirawat.” Selama perjalanan aku berpikir apa yang akan ku katakan saat bertemu denganya nanti. Beberapa kata seperti cepet sembuh ya, semoga cepat sembuh, bagaimana keadaanmu? Hah rasanya tidak ada yang cocok.
“Abi, bagaimana keadaan umi?” Saat itu Mukhlis terlihat sedang memegang kertas dengan sebuah pensil di tangan. Ayahnya berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Aku masih sibuk merapikan barang bawaan tadi. “Han.” Suaranya memecah keheningan. Spontan aku  menjawab, “Dalem.” “Aku ingin melukis dan bercerita kepadamu.” Aku diam tanpa kata. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Aku bingung bukan kepalang.  “Kamu inget sesuatu tentang aku.” Kata-katanya terdengar serius. “Ingat apa?” aku menjawabnya dengan lirih. “Kamu pernah menolongku.” “Kapan?” aku bingung maksimal. Rasanya aku tidak pernah menolongnya, bertemu saja sangat jarang. “Waktu itu kita masih kelas 5 SD. Saat aku pulang dari pesantren, aku ikut mengaji di masjid kampung sebelah. Kebetulan di sana sedang ada lomba menggambar dan kamu juga mengikuti lomba itu,” “Sebentar, lomba menggambar. Saat aku mewakili TPA…iya?” Aku masih bingung dengan apa yang disampaikannya. “Aku adalah anak kecil yang dulu kamu tolong. Saat itu aku menangis di belakang Masjid karena tidak bisa menggambar. Kamu melihatku lalu memberikan gambaranmu sembari berkata “Sudah, jangan menangis. Malu tau masak cowok nangis. Nih buat kamu.” Itulah yang kamu katakan saat itu. Setelah memberikan gambaran kepadaku. Kamu bergegas menggambar lagi. Padahal waktunya tinggal setengah jam saja.” Mukhlis terlihat serius bercerita tapi anehnya semenjak tadi  kuperhatikan kuasnya tak henti menggoreskan tinta di kanvas. “Makasih ya, sudah memberiku Juara 2 pada saat itu. Aku kagum lo sama kamu. Hanya dengan setengah jam gambaranmu dapat selesai dan mendapat juara 1 lagi.” “Em….” “Sebentar aku juga masih pengen bilang. Terima  kasih banyak, karena kejadian itu aku menjadi terobsesi untuk melukis sampai saat ini.”  Mukhlis menunjukan hasil lukisannya. Aku tercengang melihat siapa yang ada dalam lukisan itu. Persis seperti foto yang aku berikan kepada Ustadzah tahun lalu. Saat aku memeluk anak-anak TPA dengan senyum yang mengembang.
Ternyata dia mengerjakan lukisan itu sejak tahun lalu. Dia mengerjakannya hanya saat di rumah saja. Dia berkata, seharusnya lukisan itu sudah jadi tadi malam. Namun karena asmanya kambuh dan harus di Rumah Sakit, jadi baru selesai sekarang deh. “Mukhlis, adikmu sudah lahir.” Suara Ayahnya Mukhlis menghentikan pembicaraan kami. Beliau menyuruhku agar memberi kabar kepada Rida yang sedang di rumah.

Selasa, 24 Mei 2016

Ramadhan Tahun Lalu

(Anik Meilinda)

Ceritaku dimulai dari Bulan Ramadhan tahun lalu. Aku pergi ke rumah guru ngajiku. Tanpa aku sangka, anak laki-lakinya yang lagi nyantri di salah satu pondok terkenal di Jawa Timur itu pulang. Aku sudah banyak dengar tentang dia. Ya, tentu dari guruku itu. Aku dengar dia anaknya pendiam, pintar, dan penyayang. Tidak ada yang terjadi waktu itu. Seperti orang biasa yang gak kenal satu sama lain. Cuma saling tau doang.
Ibunya sering banget cerita tentang anak laki-lakinya itu kepadaku. Mulai dari sekolah di sana, kehidupan di sana, perjuangan belajar di pesantren, sampai hukuman-hukuman yang ada di sana. Aku sih tertarik aja denger cerita kayak gitu. Lama-lama aku makin tau, dan makin penasaran. Aku pernah berpikir kenapa aku tidak tanya langsung sama dia, lagian dia kan sepantaran sama aku. Kita sama-sama kelas 2 SMA, walaupun umurku lebih muda satu tahun dari dia. Tapi aku mikir lagi, masak iya aku mau ngobrol sama cowok yang katanya alim banget itu. Biasanya kalau aku ngobrol sama siapapun, aku gak pernah punya rasa malu, sungkan, dan lain sebagainya. Aku itu mikirnya begini, kalau aku emang penasaran dan pengen tau tanya aja. Gak usah kebanyakan mikir. Tapi, kali ini aku pertimbangin mateng-mateng. Mikir berat.
Besok harinya, aku dihubungin sama humas organisasi perkumpulan perantauan desaku. Dia bilang, idul fitri nanti akan ada halal bihalal. Aku disuruh buat menjadi qiro’ sekaligus melaporkan kegiatan-kegiatan di TPA desaku. Kenapa harus aku? Mereka bilang, karena aku guru TPA sekaligus seksi agama di Karang Taruna. Waktunya singkat banget. Cuma 2 hari sebelumnya.
Sore harinya, aku pergi ke rumah guruku lagi.  Kita ngomongin acara besok malem. Jujur aja aku gak pengen ngapa-ngapain di acara itu. “Us, sepertinya akan lebih baik jika ustadzah yang melaporkan kegiatan-kegiatan TPA dan Mukhlis yang menjadi qiro’.” Tanpa aku duga, guruku itu langsung manggil anaknya. Hah..kita diskusi deh. Yakin aku bingung plus blank sama alasan-alasan yang udah aku persiapkan sebelumnya. Raaaarr.
Diskusi berakhir garing plus krik gara-gara aku kehilangan kata-kata. Yang aku heranin. Dia keluar dari kamarnya dengan keadaan celometan, kayaknya sih kena cat air. Dalam batinku, dia habis ngapain sih? Yakin bikin penasaran aja. Cowok yang katanya alim itu, gak banyak kata-kata. Awalnya dia menolak dengan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya dia setuju. Mungkin dia berpikir bahwa dia harus taat pada ibunya. Mungkin? Hal yang berbeda ditunjukan oleh guruku. Dia tetep mempercayakan laporan itu kepadaku. Hah. Aku udah gak bisa bantah lagi. Energiku hanya tersisa buat ngangguk-ngangguk aja.
“Udah mau buka puasa, buka disini aja?” Cowok yang katanya alim itu ngomong kayak gitu. Dia ngomong kayak gitu waktu aku udah mau enyah dari sofa empuknya. Astaga naga, maksudnya apa? Spontan aku cuma menggelengkan kepala sembari tersenyum. Aku segera beranjak pergi. Sampai-sampai aku lupa mengucapkan salam. Setelah diluar, aku langsung nyalain sepeda  motor dan meluncur cepat secepat awan kinton. Aku harap guruku itu gak menangkap gelagak anehku tadi. Aku juga bingung sama hal yang terjadi tadi. Bingung maksimal.
Acara itu tiba juga. Seperti yang telah direncanakan. Aku cukup melaporkan kegiatan dan prestasi anak-anak TPA sedangkan cowok alim itu gantiin aku buat jadi qiro’. Sebelum acara dimulai. Aku sudah bilang sama pembawa acaranya kalau aku gak jadi menjadi qiro’. Aku diganti cowok yang katanya alim itu.
“Acara yang selanjutnya adalah pembacaan ayat suci AL-Quran, yang akan dibacakan oleh saudara Mukhlis.” Gema suara pembawa acara itu membuat jantungku berdebar dengan sangat cepat. Aku berusaha menenangkan diri dengan menutup mata dan menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Aku gak siap kalau temen-temen yang ada di sampingku menangkap gelagak yang aneh dariku. Satu menit berlalu. Suara indah Al-Quran belum juga terdengar dari telingaku. Saat aku membuka mata, aku sangat terkejut. Semua orang berkerumun menuju ruangan utama. “Woi, Han kayaknya ada yang terjadi deh sama si Mukhlis,” teriak Afiifah dengan mengoyang-goyangkan pundakku. Aku hanya dapat diam. Pikiranku melayang kemana-mana. Acara menjadi kacau.
Saat aku masih terdiam dalam duduk. Terlihat seorang laki-laki paruh baya membelah kerumunan orang dengan membopong seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah Mukhlis.
Aku masih di posisi yang sama. Duduk di depan ruang utama. Setelah suara mobil menghilang dengan membawa laki-laki itu, pembawa acara berkata, “Sudah-sudah acara akan dilanjutkan. Jangan khawatir. Mukhlis akan segera mendapatkan penanganan yang tepat. Kita doakan saja semoga ia baik-baik saja.” “Kita lanjutkan acaranya ya. Acara yang selanjutnya, pelaporan kegiatan TPA oleh saudara Hanny.”
Acara berakhir  dengan suka cita. Berbeda dengan semua orang wajah guru ngajiku itu terlihat  gelisah dan sedih. “Kenapa Ibu tidak ikut ke rumah sakit? Pasti Ibu ingin melihat keadaan Mukhlis sekarang kan? Yang sabar ya Bu semoga Mukhlis baik-baik saja,” kataku sembari menggenggam tangan gemuknya.
Malam itu perasaan dan pikiranku seakan-akan mengompakkan diri. Perasaan dan pikiranku gak karuan. Hingga pukul 00.00 mataku belum juga dapat beristirahat. Sampai akhirnya aku menemukan jalan keluar. Aku shalat 2 rakaat dan setelah itu perasaaan dan pikiranku sedikit membaik sampai akhirnya tertidur.
Keesokan harinya masih dalam suasana Idul Fitri. Desaku melakukan tradisinya, saling mengunjungi rumah satu sama lain lalu semuanya berkumpul di rumah Bapak Haji Sulaiman, orang yang dihormati di kampung kecilku. Saat disana, aku bertemu dengan Rida, adiknya Mukhlis. “Mbak, kata umi nanti mbak disuruh nganterin Umi pergi ke Rumah Sakit.” Saat Rida berkata itu, aku sedang menikmati segelas es buah yang dihidangkan. Dengan sekejap mangkuk esku seketika tumpah di tikar. “Mbak Hanny, bisa kan?” “Iya iya emangnya jam berapa?”  kataku sambil membersihkan es buah tumpah tadi. “Nanti habis dhuhur.”  “Ya.”  Saat aku masih sibuk dengan kain lap, Rida sudah pergi meninggalkanku.
Adzan dhuhur berkumandang. Adzan dhuhur yang beberapa hari ini dikumandangkan oleh Mukhlis. Hari ini tidak lagi karena ia sedang terbaring di Rumah Sakit. Aku bergegas mandi, shalat lalu merapikan diri. Jantungku berdebar sangat kencang, perasaanku aneh dan aku memikirkan apa yang harus aku lakukan ketika disana nanti? Tak henti-hentinya aku memikirkan hal itu. Hingga sebuah suara yang sangat aku kenal memanggilku. Rida berteriak sambil membunyikan tlakson sepedanya, “Mbak Hanny umi sudah siap mau berangkat ‘kring-kring’ Mbak Hanny nanti ke rumahku ya!” Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan perkataannya.
Tak lama kemudian, Aku berada di rumah Rida. Ada yang aneh saat aku melihat barang bawaan yang dibawa oleh guru ngajiku itu. Beliau membawa kuas, cat minyak, lipatan kanvas beserta kayu penyangganya dan barang-barang lain yang tidak aku ketahui namanya. Wajah beliau sangat sedih dan gelisah. Sehingga aku tak berani banyak tanya seperti biasanya. “Tolong bawakan ini Nak Hanny, Umi  mau mengambil baju gantinya Mukhlis.” Ekspresiku yang biasanya riang tanpa beban. Saat melihat Umi seperti ini seketika ikut menjadi sedih.
Selama perjalanan aku tak henti-hentinya membayangkan hal yang terjadi dengan Mukhlis dan bertanya-tanya sebenarnya dia itu sakit apa?
Ketika sampai di Rumah Sakit. Tiba-tiba  perut Umi terasa sakit. Mungkinkah guru ngajiku itu akan melahirkan, mengingat usia kandunganya yang sudah menginjak 9 bulan. Spontan aku berteriak meminta tolong. Umi segera ditangani oleh dokter. Sedangkan aku di  ruang registrasi. Saat aku ditanya siapa yang bertanggung jawab atas Umi? Aku bingung banget, lalu aku ceritakan apa maksud kami datang kemari. “Jadi suami ibu itu ada di sini?” “Benar.” “Nama anaknya yang sedang dirawat siapa?” Petugas itu terlihat sibuk dengan komputer di depennya. “Namanya Mukhlis,” jawabku singkat. Tubuhku masih gemetar karena kejadian tadi. “Ya sudah, terima kasih Dik, nanti kami akan menghubungi suaminya. Adik sudah boleh keluar.”
Tak lama kemudian aku melihat Ayahnya Mukhlis berjalan ke arahku. “Sebenarnya apa yang terjadi Han?” Nada bicaranya menunjukan betapa gelisah perasaanya. Aku menjawab, “Sepertinya Umi akan melahirkan, sekarang beliau sedang di ruang bersalin.” “Alkhamdulillah kalau begitu. Aku akan mengurus registrasinya dulu. Setelah itu aku akan pergi ke ruang bersalin.” Aku bertanya, “E…maaf…terus barang-barang itu mau dibawa kemana?” “O iya. Ya udah begini saja. Aku akan membawa barang-barang itu ke kamarnya Mukhlis dulu.” Aku masih terdiam di kursi. “Lho kenapa kamu diam saja? Ayo ikut.” Hah aku ikut. “Ikut kemana?” “Tentu saja ke ruangan dimana Mukhlis dirawat.” Selama perjalanan aku berpikir apa yang akan ku katakan saat bertemu denganya nanti. Beberapa kata seperti cepet sembuh ya, semoga cepat sembuh, bagaimana keadaanmu? Hah rasanya tidak ada yang cocok.
“Abi, bagaimana keadaan umi?” Saat itu Mukhlis terlihat sedang memegang kertas dengan sebuah pensil di tangan. Ayahnya berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Aku masih sibuk merapikan barang bawaan tadi. “Han.” Suaranya memecah keheningan. Spontan aku  menjawab, “Dalem.” “Aku ingin melukis dan bercerita kepadamu.” Aku diam tanpa kata. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Aku bingung bukan kepalang.  “Kamu inget sesuatu tentang aku.” Kata-katanya terdengar serius. “Ingat apa?” aku menjawabnya dengan lirih. “Kamu pernah menolongku.” “Kapan?” aku bingung maksimal. Rasanya aku tidak pernah menolongnya, bertemu saja sangat jarang. “Waktu itu kita masih kelas 5 SD. Saat aku pulang dari pesantren, aku ikut mengaji di masjid kampung sebelah. Kebetulan di sana sedang ada lomba menggambar dan kamu juga mengikuti lomba itu,” “Sebentar, lomba menggambar. Saat aku mewakili TPA…iya?” Aku masih bingung dengan apa yang disampaikannya. “Aku adalah anak kecil yang dulu kamu tolong. Saat itu aku menangis di belakang Masjid karena tidak bisa menggambar. Kamu melihatku lalu memberikan gambaranmu sembari berkata “Sudah, jangan menangis. Malu tau masak cowok nangis. Nih buat kamu.” Itulah yang kamu katakan saat itu. Setelah memberikan gambaran kepadaku. Kamu bergegas menggambar lagi. Padahal waktunya tinggal setengah jam saja.” Mukhlis terlihat serius bercerita tapi anehnya semenjak tadi  kuperhatikan kuasnya tak henti menggoreskan tinta di kanvas. “Makasih ya, sudah memberiku Juara 2 pada saat itu. Aku kagum lo sama kamu. Hanya dengan setengah jam gambaranmu dapat selesai dan mendapat juara 1 lagi.” “Em….” “Sebentar aku juga masih pengen bilang. Terima  kasih banyak, karena kejadian itu aku menjadi terobsesi untuk melukis sampai saat ini.”  Mukhlis menunjukan hasil lukisannya. Aku tercengang melihat siapa yang ada dalam lukisan itu. Persis seperti foto yang aku berikan kepada Ustadzah tahun lalu. Saat aku memeluk anak-anak TPA dengan senyum yang mengembang.
Ternyata dia mengerjakan lukisan itu sejak tahun lalu. Dia mengerjakannya hanya saat di rumah saja. Dia berkata, seharusnya lukisan itu sudah jadi tadi malam. Namun karena asmanya kambuh dan harus di Rumah Sakit, jadi baru selesai sekarang deh. “Mukhlis, adikmu sudah lahir.” Suara Ayahnya Mukhlis menghentikan pembicaraan kami. Beliau menyuruhku agar memberi kabar kepada Rida yang sedang di rumah.

Minggu, 28 Februari 2016

CONTOH PUISI TEMA AMARAH



NEGERIKU TERLUKA (KARYA:GEGET A.W)


KU COBA TULIS KISAH NEGERIKU
DALAM KETERBATASAN DAN KESEDERHANAAN
KISAH PILU TANPA BAHAGIA
HANYA TANGIS MENYAYAT KALBU
SEJARAH BESAR KINI DILUPAKAN
PARA NAHKODA HANYA BEREBUT JABATAN
NASIB KAMI TLAH DILALAIKAN
HANYA UNTUK MENAMBAH KEKAYAAN
DIAWAL KAU TELAH BERJANJI
UNTUK SETIA PADA NAGARI
DIAWAL ENGKAU BERSUMPAH
UNTUK BERSATU BUKAN TERPECAH
APAKAH KAU LUPA SEMUA ITU???????
TENTANG SUMPAH DAN JANJIMU
BIARKAN SANG GARUDA MENGINGATKAN
DAN AL-QURAN MENJADI SAKSI
PEJABAT KORUPSI BAGAI PEMBUNUH
LEBIH SADIS DARI SERIBU TERORIS
MENYIKSA HINGGA KAMI SEKARAT
MEMBUNUH KAMI DENGAN BERLAHAN-LAHAN
KAMI SUDAH CUKUP SUSAH
BIARKAN ANAK KAMI BAHAGIA
CUCU-CUCU KAMI HIDUP TENANG
DAN CICIT KAMI TERSENYUM KEMBALI
CUKUP KAMI YANG MATI KELAPARAN
BUKAN ANAK CUCU KAMI
BIARKAN KAMI YANG MENDERITA
JANGAN UNTUK ANAK CUCU KAMI
POTONG SAJA TANGAN KAMI
UNTUK MENEBUS KEBAHAGIAAN ITU
PENGGAL SAJA KEPALA KAMI
UNTUK MEMBAYAR KESEJAHTERAAN ITU
KENAPA KAU MASIH TEGA MELAKUKANNYA
MEMBUAT ANAK CUCU KAMI KESAKITAN
ORANG KAYA YANG BOLEH SAKIT
FAKIR MISKIN HARUS MATI SEGERA
APAKAH ITU BELUM CUKUP
PROYEK-PROYEK KAU REKAYASA
UANG RAKYAT SIRNA KAU CURI
DAN TAMBANG EMAS HABIS KAU KERUK
BIARKANLAH BURUNG GARUDA TERBANG
WALAUPUN PENUH LUKA KESAKITAN
BUKAN KARNA KALAH DALAM PERANG
TAPI DISIKSA PARA PECUNDANG
BIARKAN LAGU INDONESIA RAYA BERKUMANDANG
WALAUPUN PENUH KETERBATASAN
BUKAN KARNA MASA PENJAJAHAN
TAPI KARNA SENGAJA MELUPAKAN
BIARKAN SANG MERAH PUTIH BERKIBAR
WALAUPUN PENUH DENGAN LUKA ROBEKAN
BUKAN KARNA PARA PENJAJAH
TAPI KARNA PARA PENDUSTA

MAKASIH GEGET