Halaman

Selasa, 24 Mei 2016

Ramadhan Tahun Lalu

(Anik Meilinda)

Ceritaku dimulai dari Bulan Ramadhan tahun lalu. Aku pergi ke rumah guru ngajiku. Tanpa aku sangka, anak laki-lakinya yang lagi nyantri di salah satu pondok terkenal di Jawa Timur itu pulang. Aku sudah banyak dengar tentang dia. Ya, tentu dari guruku itu. Aku dengar dia anaknya pendiam, pintar, dan penyayang. Tidak ada yang terjadi waktu itu. Seperti orang biasa yang gak kenal satu sama lain. Cuma saling tau doang.
Ibunya sering banget cerita tentang anak laki-lakinya itu kepadaku. Mulai dari sekolah di sana, kehidupan di sana, perjuangan belajar di pesantren, sampai hukuman-hukuman yang ada di sana. Aku sih tertarik aja denger cerita kayak gitu. Lama-lama aku makin tau, dan makin penasaran. Aku pernah berpikir kenapa aku tidak tanya langsung sama dia, lagian dia kan sepantaran sama aku. Kita sama-sama kelas 2 SMA, walaupun umurku lebih muda satu tahun dari dia. Tapi aku mikir lagi, masak iya aku mau ngobrol sama cowok yang katanya alim banget itu. Biasanya kalau aku ngobrol sama siapapun, aku gak pernah punya rasa malu, sungkan, dan lain sebagainya. Aku itu mikirnya begini, kalau aku emang penasaran dan pengen tau tanya aja. Gak usah kebanyakan mikir. Tapi, kali ini aku pertimbangin mateng-mateng. Mikir berat.
Besok harinya, aku dihubungin sama humas organisasi perkumpulan perantauan desaku. Dia bilang, idul fitri nanti akan ada halal bihalal. Aku disuruh buat menjadi qiro’ sekaligus melaporkan kegiatan-kegiatan di TPA desaku. Kenapa harus aku? Mereka bilang, karena aku guru TPA sekaligus seksi agama di Karang Taruna. Waktunya singkat banget. Cuma 2 hari sebelumnya.
Sore harinya, aku pergi ke rumah guruku lagi.  Kita ngomongin acara besok malem. Jujur aja aku gak pengen ngapa-ngapain di acara itu. “Us, sepertinya akan lebih baik jika ustadzah yang melaporkan kegiatan-kegiatan TPA dan Mukhlis yang menjadi qiro’.” Tanpa aku duga, guruku itu langsung manggil anaknya. Hah..kita diskusi deh. Yakin aku bingung plus blank sama alasan-alasan yang udah aku persiapkan sebelumnya. Raaaarr.
Diskusi berakhir garing plus krik gara-gara aku kehilangan kata-kata. Yang aku heranin. Dia keluar dari kamarnya dengan keadaan celometan, kayaknya sih kena cat air. Dalam batinku, dia habis ngapain sih? Yakin bikin penasaran aja. Cowok yang katanya alim itu, gak banyak kata-kata. Awalnya dia menolak dengan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya dia setuju. Mungkin dia berpikir bahwa dia harus taat pada ibunya. Mungkin? Hal yang berbeda ditunjukan oleh guruku. Dia tetep mempercayakan laporan itu kepadaku. Hah. Aku udah gak bisa bantah lagi. Energiku hanya tersisa buat ngangguk-ngangguk aja.
“Udah mau buka puasa, buka disini aja?” Cowok yang katanya alim itu ngomong kayak gitu. Dia ngomong kayak gitu waktu aku udah mau enyah dari sofa empuknya. Astaga naga, maksudnya apa? Spontan aku cuma menggelengkan kepala sembari tersenyum. Aku segera beranjak pergi. Sampai-sampai aku lupa mengucapkan salam. Setelah diluar, aku langsung nyalain sepeda  motor dan meluncur cepat secepat awan kinton. Aku harap guruku itu gak menangkap gelagak anehku tadi. Aku juga bingung sama hal yang terjadi tadi. Bingung maksimal.
Acara itu tiba juga. Seperti yang telah direncanakan. Aku cukup melaporkan kegiatan dan prestasi anak-anak TPA sedangkan cowok alim itu gantiin aku buat jadi qiro’. Sebelum acara dimulai. Aku sudah bilang sama pembawa acaranya kalau aku gak jadi menjadi qiro’. Aku diganti cowok yang katanya alim itu.
“Acara yang selanjutnya adalah pembacaan ayat suci AL-Quran, yang akan dibacakan oleh saudara Mukhlis.” Gema suara pembawa acara itu membuat jantungku berdebar dengan sangat cepat. Aku berusaha menenangkan diri dengan menutup mata dan menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Aku gak siap kalau temen-temen yang ada di sampingku menangkap gelagak yang aneh dariku. Satu menit berlalu. Suara indah Al-Quran belum juga terdengar dari telingaku. Saat aku membuka mata, aku sangat terkejut. Semua orang berkerumun menuju ruangan utama. “Woi, Han kayaknya ada yang terjadi deh sama si Mukhlis,” teriak Afiifah dengan mengoyang-goyangkan pundakku. Aku hanya dapat diam. Pikiranku melayang kemana-mana. Acara menjadi kacau.
Saat aku masih terdiam dalam duduk. Terlihat seorang laki-laki paruh baya membelah kerumunan orang dengan membopong seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah Mukhlis.
Aku masih di posisi yang sama. Duduk di depan ruang utama. Setelah suara mobil menghilang dengan membawa laki-laki itu, pembawa acara berkata, “Sudah-sudah acara akan dilanjutkan. Jangan khawatir. Mukhlis akan segera mendapatkan penanganan yang tepat. Kita doakan saja semoga ia baik-baik saja.” “Kita lanjutkan acaranya ya. Acara yang selanjutnya, pelaporan kegiatan TPA oleh saudara Hanny.”
Acara berakhir  dengan suka cita. Berbeda dengan semua orang wajah guru ngajiku itu terlihat  gelisah dan sedih. “Kenapa Ibu tidak ikut ke rumah sakit? Pasti Ibu ingin melihat keadaan Mukhlis sekarang kan? Yang sabar ya Bu semoga Mukhlis baik-baik saja,” kataku sembari menggenggam tangan gemuknya.
Malam itu perasaan dan pikiranku seakan-akan mengompakkan diri. Perasaan dan pikiranku gak karuan. Hingga pukul 00.00 mataku belum juga dapat beristirahat. Sampai akhirnya aku menemukan jalan keluar. Aku shalat 2 rakaat dan setelah itu perasaaan dan pikiranku sedikit membaik sampai akhirnya tertidur.
Keesokan harinya masih dalam suasana Idul Fitri. Desaku melakukan tradisinya, saling mengunjungi rumah satu sama lain lalu semuanya berkumpul di rumah Bapak Haji Sulaiman, orang yang dihormati di kampung kecilku. Saat disana, aku bertemu dengan Rida, adiknya Mukhlis. “Mbak, kata umi nanti mbak disuruh nganterin Umi pergi ke Rumah Sakit.” Saat Rida berkata itu, aku sedang menikmati segelas es buah yang dihidangkan. Dengan sekejap mangkuk esku seketika tumpah di tikar. “Mbak Hanny, bisa kan?” “Iya iya emangnya jam berapa?”  kataku sambil membersihkan es buah tumpah tadi. “Nanti habis dhuhur.”  “Ya.”  Saat aku masih sibuk dengan kain lap, Rida sudah pergi meninggalkanku.
Adzan dhuhur berkumandang. Adzan dhuhur yang beberapa hari ini dikumandangkan oleh Mukhlis. Hari ini tidak lagi karena ia sedang terbaring di Rumah Sakit. Aku bergegas mandi, shalat lalu merapikan diri. Jantungku berdebar sangat kencang, perasaanku aneh dan aku memikirkan apa yang harus aku lakukan ketika disana nanti? Tak henti-hentinya aku memikirkan hal itu. Hingga sebuah suara yang sangat aku kenal memanggilku. Rida berteriak sambil membunyikan tlakson sepedanya, “Mbak Hanny umi sudah siap mau berangkat ‘kring-kring’ Mbak Hanny nanti ke rumahku ya!” Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan perkataannya.
Tak lama kemudian, Aku berada di rumah Rida. Ada yang aneh saat aku melihat barang bawaan yang dibawa oleh guru ngajiku itu. Beliau membawa kuas, cat minyak, lipatan kanvas beserta kayu penyangganya dan barang-barang lain yang tidak aku ketahui namanya. Wajah beliau sangat sedih dan gelisah. Sehingga aku tak berani banyak tanya seperti biasanya. “Tolong bawakan ini Nak Hanny, Umi  mau mengambil baju gantinya Mukhlis.” Ekspresiku yang biasanya riang tanpa beban. Saat melihat Umi seperti ini seketika ikut menjadi sedih.
Selama perjalanan aku tak henti-hentinya membayangkan hal yang terjadi dengan Mukhlis dan bertanya-tanya sebenarnya dia itu sakit apa?
Ketika sampai di Rumah Sakit. Tiba-tiba  perut Umi terasa sakit. Mungkinkah guru ngajiku itu akan melahirkan, mengingat usia kandunganya yang sudah menginjak 9 bulan. Spontan aku berteriak meminta tolong. Umi segera ditangani oleh dokter. Sedangkan aku di  ruang registrasi. Saat aku ditanya siapa yang bertanggung jawab atas Umi? Aku bingung banget, lalu aku ceritakan apa maksud kami datang kemari. “Jadi suami ibu itu ada di sini?” “Benar.” “Nama anaknya yang sedang dirawat siapa?” Petugas itu terlihat sibuk dengan komputer di depennya. “Namanya Mukhlis,” jawabku singkat. Tubuhku masih gemetar karena kejadian tadi. “Ya sudah, terima kasih Dik, nanti kami akan menghubungi suaminya. Adik sudah boleh keluar.”
Tak lama kemudian aku melihat Ayahnya Mukhlis berjalan ke arahku. “Sebenarnya apa yang terjadi Han?” Nada bicaranya menunjukan betapa gelisah perasaanya. Aku menjawab, “Sepertinya Umi akan melahirkan, sekarang beliau sedang di ruang bersalin.” “Alkhamdulillah kalau begitu. Aku akan mengurus registrasinya dulu. Setelah itu aku akan pergi ke ruang bersalin.” Aku bertanya, “E…maaf…terus barang-barang itu mau dibawa kemana?” “O iya. Ya udah begini saja. Aku akan membawa barang-barang itu ke kamarnya Mukhlis dulu.” Aku masih terdiam di kursi. “Lho kenapa kamu diam saja? Ayo ikut.” Hah aku ikut. “Ikut kemana?” “Tentu saja ke ruangan dimana Mukhlis dirawat.” Selama perjalanan aku berpikir apa yang akan ku katakan saat bertemu denganya nanti. Beberapa kata seperti cepet sembuh ya, semoga cepat sembuh, bagaimana keadaanmu? Hah rasanya tidak ada yang cocok.
“Abi, bagaimana keadaan umi?” Saat itu Mukhlis terlihat sedang memegang kertas dengan sebuah pensil di tangan. Ayahnya berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Aku masih sibuk merapikan barang bawaan tadi. “Han.” Suaranya memecah keheningan. Spontan aku  menjawab, “Dalem.” “Aku ingin melukis dan bercerita kepadamu.” Aku diam tanpa kata. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Aku bingung bukan kepalang.  “Kamu inget sesuatu tentang aku.” Kata-katanya terdengar serius. “Ingat apa?” aku menjawabnya dengan lirih. “Kamu pernah menolongku.” “Kapan?” aku bingung maksimal. Rasanya aku tidak pernah menolongnya, bertemu saja sangat jarang. “Waktu itu kita masih kelas 5 SD. Saat aku pulang dari pesantren, aku ikut mengaji di masjid kampung sebelah. Kebetulan di sana sedang ada lomba menggambar dan kamu juga mengikuti lomba itu,” “Sebentar, lomba menggambar. Saat aku mewakili TPA…iya?” Aku masih bingung dengan apa yang disampaikannya. “Aku adalah anak kecil yang dulu kamu tolong. Saat itu aku menangis di belakang Masjid karena tidak bisa menggambar. Kamu melihatku lalu memberikan gambaranmu sembari berkata “Sudah, jangan menangis. Malu tau masak cowok nangis. Nih buat kamu.” Itulah yang kamu katakan saat itu. Setelah memberikan gambaran kepadaku. Kamu bergegas menggambar lagi. Padahal waktunya tinggal setengah jam saja.” Mukhlis terlihat serius bercerita tapi anehnya semenjak tadi  kuperhatikan kuasnya tak henti menggoreskan tinta di kanvas. “Makasih ya, sudah memberiku Juara 2 pada saat itu. Aku kagum lo sama kamu. Hanya dengan setengah jam gambaranmu dapat selesai dan mendapat juara 1 lagi.” “Em….” “Sebentar aku juga masih pengen bilang. Terima  kasih banyak, karena kejadian itu aku menjadi terobsesi untuk melukis sampai saat ini.”  Mukhlis menunjukan hasil lukisannya. Aku tercengang melihat siapa yang ada dalam lukisan itu. Persis seperti foto yang aku berikan kepada Ustadzah tahun lalu. Saat aku memeluk anak-anak TPA dengan senyum yang mengembang.
Ternyata dia mengerjakan lukisan itu sejak tahun lalu. Dia mengerjakannya hanya saat di rumah saja. Dia berkata, seharusnya lukisan itu sudah jadi tadi malam. Namun karena asmanya kambuh dan harus di Rumah Sakit, jadi baru selesai sekarang deh. “Mukhlis, adikmu sudah lahir.” Suara Ayahnya Mukhlis menghentikan pembicaraan kami. Beliau menyuruhku agar memberi kabar kepada Rida yang sedang di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar