Halaman

Jumat, 16 Oktober 2020

BERTAHAN DI SEMESTA

 


INI AKU. PLEASE. AKU BUKAN KAMU ATAU KALIAN. INI SEMESTAKU. JANGAN GANGGU. 


Sekarang, aku sedang dihadapkan dalam sebuah keadaan yang menjengkelkan sekaligus menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa ternyata aku lebih suka curhat dan berkreasi ketimbang mengerjakan skripsi.

Aku sedih ketika melihat temen-temenku telah lulus. aku juga sedih ketika ditanya terus, kapan wisuda? Kapan wisuda? Kapan lulus? Sedangkan menurutku, aku belum pantas untuk lulus. Ilmuku masih cetek, pengalamanku masih sedikit.

Kesempatan magangku di sebuah media online pun mangkrak. Baru 2 kali liputan dan tulisanku gak ditanggepin sama mentor. Jadi bingung mau liputan apa lagi. Sebenernya malu sama mereka yang aku wawancarain, malu juga sama diri sendiri. Gitu aja mutung. Belom juga ngirim 7 kali.

Jadi keinget ngajuin judul skripsi kemarin. Setelah 7 judul, barulah disetujui judulku yang ke-6. Itu pun harus banget pake drama nangis-nangis segala. Drama nunggu dapet dosbing juga lagi. Udah dapet dosbing yang enak, eh malah aku anggurin sebulan setengah. Dasar aku. Gak ada akhlak.

Sudah seminggu ini, aku mengikuti sebuah pelatihan dari Kemnaker. Pelatihan ini ada di pondokku sendiri, sejak tahun 2018. Kalau gak salah, aku udah angkatan yang ke-11. Selama sebulan, kami dibimbing untuk belajar tentang exel, word, dan utamanya desain grafis.

Baru satu minggu, aku sudah menghasilkan cukup banyak kreasi. Bagi aku, yang dari dulu pengen banget belajar desain. Tapi, karena kendala laptop yang kentang. Tapi, berbekal pelatihan  desain di UKM dulu, aku bisa sedikit-sedikit. Itu pun baru tool” penting untuk mendesain buletin dan majalah.

Aku seneng banget, sekarang aku udah tahu gimana caranya memanfaatkan tool-tool yang ada di corel, ya tentu lebih banyak dari dulu. Banyak juga short cut yang baru aku tahu. Ternyata enak juga bermain desain.

Selama ini, aku merasa lancar mengikuti pelajaran. Kadang-kadang masih tanya kanan-kiri sih. Tapi, kadang juga sedikit ngajarin temen-temen yang belum bisa. Ya, lumayanlah. Kalo kata temen kamarku, jiwa kreatifitasku tu lumayan. Gak tahu, yang dimaksud lumayan tu, lumayan jelek atau lumayan bagus. Kalo menurut aku sih, lumayan bagus. Haha (btw, siapa lagi yang bisa banggain gua, selain diri sendiri).

Nah, malam ini. Selepas menyantap makan malam. Aku putuskan. Aku butuh waktu sendiri. Larilah aku ke kelas kosong di gedung baru. Walaupun di kelas samping riuh. Hati dan pikiranku sangat sepi. Entahlah.

Segala hal yang melambung dan tertahan, semoga lekas datang. Apapun yang ada di depanku, syukuri. Karena, kita tak pernah tahu rahasia Tuhan. Tak perlulah kamu iri dengan pencapain orang lain. Toh kamu memiliki pencapaianmu sendiri.

Perihal sakit hatimu yang itu. Lekaslah pulih dan berbagialah. Siapa lagi yang bisa membuatmu bahagia kalau bukan hatimu sendiri. Siap ya. Kita mulai perjalanannya. Btw, ini gak akan mudah.

Sampai jumpa, kamu yang ceria dan penebar keceriaan. 



Selasa, 29 September 2020

Berkenalan dan Bersahabat dengan Semesta

 





        Menjadi bagian semesta adalah sebuah tanggng jawab yang tidak ringan. Pergolakan semesta selalu terjadi di semua segi kehidupan makhluk yang menempatinya. Secara lebih luas semesta adalah kumpulan unsur yang heterogen yang membentuk keberadaan. Lebih sempitnya, semesta bisa dikatakan diri kita sendiri dengan sejuta perdebatan sengit di dalamnya.

Sinergitas yang terjadi di semesta  telah menciptakan berbagai peradaban. Dan aku adalah salah satu bagian dari peradaban itu. Aku tidak banyak tahu tentang kehidupan atau pergerakan semesta. Yang aku tahu adalah keberpihakan semesta kepadaku setiap waktu. Kerab berkelahi dengan perasaan di dalam diriku sendiri, membuat aku sadar semesta tidak akan melakukan hal buruk.

Berkelahi dengan  diri sendiri? Apa yang kamu maksud? Banyak, mulai dari perihal asmara, mental, sampai pendidikan. Nah, kali ini aku bakal sedikit menumpahkan kegelisahanku sebagai manusia dengan usia 21 tahun, yang lagi gencar-gencarnya mencari jati diri. Asekkkk. Kegelisahan yang sering muncul dan membuatku over thinking sebelum tidur beberapa bulan ini adalah perihal kuliah. Ada banyak pertanyaan yang menyeruak di kepala, namun yang terjawab cuma gak setengahnya. Dahlah... cuz baca bawahnya. 

Kuliah, apa yang kamu cari? Pertanyaan ini kerap muncul di benak-benak mahasiswa karatan kayak aku. Apalagi ditambah kegelisahan melihat teman udah sidang skripsi, sedangkan, judulku aja belom acc. Aku sempat berpikir. Apakah social networking yang aku bangun selama ini not working. Aktif di himpunan sejak awal kuliah, jadi pegiat pers mahasiswa. Ikut diskusi sana sini. Kegiatan ini itu. Liputan kesana kemari. Masih kurang aktif apa coba. Apakah keaktifanku tidak working menyegerakan kelulusanku? Uwuw~

Sejak awal masuk kuliah, keinginanku untuk aktif di organisasi kampus sudah menggebu-gebu. Dulunya sih, aku juga mayan aktif di SMP dan SMA. Bersaing dengan mereka yang kebanyakan juga sudah aktif organisasi sejak sekolah tak membuatku minder. Dengan kemampuan bicara dan kepercayaan diriku, aku cukup cakap menjawab pertanyaan kating himpunanku dalam seleksi wawancara. Ditambah lagi kemampuan menulisku yang setidaknya pernah diasah di SMA dengan mengikuti perlombaan karya ilmiah. Hanya sedikit bekal memang. Tapi, cukuplah untuk membuatku tidak terlalu minder.

Perjalanan menapaki dunia kampus kuawali dengan sok kenal dan sok dekat dengan beberapa kakak tingkat. Bertanya dan ngobrol dengan mereka adalah jalur ampuh untuk berkenalan dan mencuri ilmu mereka. Mulai membaca buku-buku pergerakan-walau kerap tidak tuntas- semata-mata sebagai bekal untuk diskusi. Lebih tepatnya agar aku tidak terlihat bodoh-bodoh amat di depan mereka. Dasar pencitraan, gak papa. Namanya juga belajar. Selain itu, aku beberapa kali  dipercayai menjadi moderator ataupun sekadar pemantik diskusi. Ya sudahlah, yang penting aku menikmatinya.

Ketertarikanku dengan berbagai diskusi membuatku semakin sadar akan kebodohanku. Ada saja ilmu dan pengalaman baru yang didapatkan. Aku tertarik di berbagai isu, seperti dunia pedidikan-sesuai jurusanku-, perihal climate change, hingga tentang pelecehan seksual. Salah satu reportaseku menghiasi laporan utama di majalah kampus. Beberapa liputan-liputanku juga terbit di dunia daring. Namun, entah kenapa hal itu seakan tak sejalan dengan jurusan kuliahku. Mereka kerap berseberangan. Atau aku saja yang belum bisa menyatukan mereka berdua. Kehidupan organisasiku seakan tidak mendukung nilai akademikku.

Berbagai diskusi yang sering aku ikuti mengajarkan aku untuk tidak kolot dengan ilmu dan berbagai pandangan. Sedangkan jurusanku selalu mengandalkan kepastian. Pendidikan Bahasa Arab, itulah jurusanku. Jurusan yang didominasi oleh lulusan pesantren, begitupun dosennya. Banyak kaidah yang harus aku tepati, agar tidak kena semprot dosen. Untungnya, beberapa mata kuliah tidak sesaklek itu. Aku pun bisa menyesuaikan dan mengontrol atmosfer belajarnya. Hal itu aku lakukan untuk menciptakan iklim belajar yang aktif dan kondusif. 

Selama empat tahun kuliah. Nilai-nilaiku tak  bisa dianggap buruk tapi juga tidak sebagus teman-temanku. Bagiku, nilai bukanlah tolak ukur kemampuan. Aku lebih berorientasi dengan pemahaman ketimbang nilai.  Bahkan, aku akan aneh jika mendapatkan nilai A padahal aku merasa tak pantas mendapatkannya. 

Membangun network dengan banyak orang adalah hal yang sangat penting untuk mengarungi kehidupan. Hal itu membuatku teringat dengan berlakunya hukum karma. Barang siapa berbuat baik, ia akan mendapatkan kebaikan juga. Hal itu berhubungan, jika kita selalu menjaga hubungan baik dengan banyak orang, Niscaya every thing  will be eazy.

Menginjak semester 9 ini, aku masih belum bisa fokus mengerjakan skripsi. Dan masih saja lebih asik dengan duniaku sendiri. Deadline skripsi seakan-akan hanya angin lalu. Sedangkan deadline yang lain aku utamakan. Mengenaskan sekali nasibmu, Nak. Semoga cepet dapet hidayah ya.

Rabu, 22 April 2020

Kenapa Harus Kuliah Sekaligus Mondok?


Kenapa Harus Kuliah Sekaligus Mondok?

Prioritas itu perlu dan akan selalu dibutuhkan./doc.cio.com


Mari kita awali tulisan ini dengan sedikit umpatan toyyibah, Bismillahirrohmanirrohim. Ditakdirkan menjadi seorang mahasantri, alias mahasiswa yang sekaligus nyantri adalah sebuah nikmat sekaligus musibah. Nikmat bagi mereka yang tidak pernah di-ta’dzir (dihukum) dan musibah bagi mereka yang langganan dihukum.
Membagi waktu antara kuliah dan mondok memang tidak semudah mengatakannya “ya ditentukan prioritasnya, dong,” kata itu tergelontor mudah dari mulut mereka, manusia-manusia yang tidak menjalaninya. Teorinya,  tentukan prioritasnya saja. Lalu, bagaimana kalau kita sulit menentukan prioritasnya, mengingat kedua-duanya memiliki konsekuensi yang tidak ringan. Tentu saja sebagai mahasantri yang sudah tidak kecil lagi (read: dewasa), tentunya  dianggap sudah bisa menentukan prioritas dan menerima segala konsekuensi.
Namun, sebagai manusia biasa yang pasti memiliki sisi lemah dan tak berdaya, ia juga bisa tumbang dan stress juga. Dikala kampus sedang menuntut dengan setumpuk tugas kelompok dan take home. Sedangkan, pondok menuntut kita belajar dengan tekun karena kejar tayang sebelum imtihan (ujian). Beuh sekali hidup kamu. Belum lagi kalau kamu aktif di organisasi. Udah ikut organisasi kampus, eh jadi pengurus pondok pula. Mantap nian kenikmatan hidup lho. Nah, kali ini bakal aku jelasin beberapa fakta menarik jadi mahasantri.
1.       Dianggap Keren
Ya gimana nggak dianggap keren, mereka bisa membagi waktu mereka untuk kuliah dan nyantri. Kuliah jalan, nyantri juga jalan. Tugas kuliah clear, ta’dhim sama Kiai juga tetep. Ilmu akhirat dapet, ilmu duniawi juga kena.
2.       Dimudahkan Urusannya
Bagi kalian yang percaya penuh dengan barokah Kiai pasti paham. Dimana kalau kita hormat dengan guru, ilmunya itu akan bermanfaat dan dimudahkan dalam segala urusan. Hal ini juga terjadi di kalangan santri, ada aja keajaiban yang terjadi.
3.       Tidur di Kelas Sudah Biasa
Sering kali, mereka tidur di kelas karena terlalu padetnya agenda di pondok. Sudah agendanya banyak, masih lagi setelah itu ngerjain tugas kuliah. Mantap betul kesehariannya. Sampai ada ungkapan, “Tidur siang adalah hoax, dan tidur malam itu kelangkaan.” Bukannya gimana, mahasantri tidurnya dini hari, bukan malem lagi. Lha wong jam 2 esuk lagi mapan kok.
4.       Langganan Dihukum
Dilematis memang, tugas kelompok belum kelar, eh senja sudah menyerbu. Ini saatnya anak pondok harus pulang. Kalau peran kamu di tugas itu penting banget dan sudah deadline, beuh terpaksa deh tuh, pulang telat ke pondok. Dan apa konsekuensi yang harus diterima saat pulang telat? Ya pasti dihukum.
5.       Dianggap Aktivis
Dibandingkan mereka yang hanya tidur, bangun, ngising, makan, ngaji, dan nge-ghibah. Jelas kami yang nyantri sekaligus aktif di kampus bakal keliatan menonjol. Mulai dari langganan dihukum, langganan sandal di-ghosob, sampai langganan yang agak keren dikit, yaitu jadi panitia di acara pondok. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman mereka yang aktif di kampus juga dibutuhkan di pondok pesantren. Pun sebaliknya sih, kemampuan santri juga  dibutuhin di organisasi kampus. Apalagi kalau bukan langganan mimpin doa dan qiro’, pokoknya yang hawa-hawa ada sangkut pautnya sama agama pasti langsung dilempar ke  mahasiswa yang nyantri.
6.       Sok Sibuk
Mereka yang aktif di kampus pasti banyak agenda yang harus dihadiri. Maka dari itu, mereka sok sering ijin nggak ikut ngaji karena ‘ngacara’. Masih alhamdulillah kalau diijinin, kalau gak diijinin, dan si santri tetep nekat karena kepepet. Matilah riwayatnya (read: dihukum). Waktu di pondok pun, kadang pikiran mereka yang masih di kampus. Sedangkan kalau lagi di kampus, pikiran mereka meronta-ronta tentang pondok.

Berikutlah beberapa fakta unik  yang dialami oleh mahasantri. Ada santri yang pandai membagi waktu sehingga keduanya berprestasi. Namun, tak jarang salah satunya akan terkorbankan.
Bagi kalian yang sedang berada di posisi yang tak jauh beda, atau bahkan sama. Yang tenang ya, Allah bakal kasih jalan terbaik kok. Jalanin aja dulu. Kayak aku ini, sekarang baru ngrasain kalo kuliah sambil jadi santri tuh ternyata ada manis-manisnya gitu. Padahal mah, awal bayanginnya berattt banget. Kayaknya aku gak bakal kuat. Eh ternyata, sekarang udah bisa ngerasian manfaatnya. Jadi, jangan ragu kuliah sekaligus mondok ya.


Minggu, 19 April 2020

PERSAHABATAN BERUJUNG BAPER


TAHUN PERTAMA KEBAPERAN
Seperti kemustahilan. Persahabatan antara pria dan wanita yang berjalan tanpa rasa./ doc.tribunnews.com


Satu tahun mengenalmu membuatku cukup paham apa-apa yang berubah darimu. mulai dari berat badanmu yang menurun hingga sikap malu yang telah berubah menjadi berani. Sebuah hubungan yang aku anggap lebih dari teman biasa. Setiap kita menggenggam rahasia satu sama lain. Saling medengar dan memahami semua rasa selama setahun ini.
Jika aku ditanya, apakah aku bahagia? Sebenarnya biasa saja. Kebahagiaanku adalah ketika angan-anganmu semenjak satu tahun silam telah terwujud. Ya, mengenalnya lebih dekat dan bersamanya. Misi yang mengawali perkenalanku dengamu. Dan sekarang, misi itu mulai terwujud. Syukurlah.
Seperti yang aku jelaskan di atas. Perkenalanku denganmu diawali oleh sebuah misi. Misi menaklukkan hatinya-wanitamu- sekarang. Dan kedekatan kita berakhir ketika kalian telah bersama. Betapa bahagianya diriku saat itu.
Namun, sepertinya ada yang perlu diluruskan dari persahabatan ini. Apa kau kira persahabatan ini akan berujung kebaperan? Lalu, kau rela melepaskannya. Ku kira mungkin saja begitu. Tapi, bagiku semua ini tetap bisa berjalan. Kau masih bisa bercerita tentangnya. Dan aku masih bercerita tentang siapapun. Ya, seperti semula.
Tentu, narasi yang tak seberapa panjang ini tidak akan bisa menggambarkan betapa aku menyayangkan hal itu terjadi. Tapi, ya sudahlah. Sekarang, kau sibuk dengannya. Dan aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Aku pun berpikir. Apa benar? Kau mengakhiri semua ini karena sebuah kata ‘sahabat’. Benar. Persahabatan antara pria dan wanita adalah halu.