Halaman

Selasa, 29 September 2020

Berkenalan dan Bersahabat dengan Semesta

 





        Menjadi bagian semesta adalah sebuah tanggng jawab yang tidak ringan. Pergolakan semesta selalu terjadi di semua segi kehidupan makhluk yang menempatinya. Secara lebih luas semesta adalah kumpulan unsur yang heterogen yang membentuk keberadaan. Lebih sempitnya, semesta bisa dikatakan diri kita sendiri dengan sejuta perdebatan sengit di dalamnya.

Sinergitas yang terjadi di semesta  telah menciptakan berbagai peradaban. Dan aku adalah salah satu bagian dari peradaban itu. Aku tidak banyak tahu tentang kehidupan atau pergerakan semesta. Yang aku tahu adalah keberpihakan semesta kepadaku setiap waktu. Kerab berkelahi dengan perasaan di dalam diriku sendiri, membuat aku sadar semesta tidak akan melakukan hal buruk.

Berkelahi dengan  diri sendiri? Apa yang kamu maksud? Banyak, mulai dari perihal asmara, mental, sampai pendidikan. Nah, kali ini aku bakal sedikit menumpahkan kegelisahanku sebagai manusia dengan usia 21 tahun, yang lagi gencar-gencarnya mencari jati diri. Asekkkk. Kegelisahan yang sering muncul dan membuatku over thinking sebelum tidur beberapa bulan ini adalah perihal kuliah. Ada banyak pertanyaan yang menyeruak di kepala, namun yang terjawab cuma gak setengahnya. Dahlah... cuz baca bawahnya. 

Kuliah, apa yang kamu cari? Pertanyaan ini kerap muncul di benak-benak mahasiswa karatan kayak aku. Apalagi ditambah kegelisahan melihat teman udah sidang skripsi, sedangkan, judulku aja belom acc. Aku sempat berpikir. Apakah social networking yang aku bangun selama ini not working. Aktif di himpunan sejak awal kuliah, jadi pegiat pers mahasiswa. Ikut diskusi sana sini. Kegiatan ini itu. Liputan kesana kemari. Masih kurang aktif apa coba. Apakah keaktifanku tidak working menyegerakan kelulusanku? Uwuw~

Sejak awal masuk kuliah, keinginanku untuk aktif di organisasi kampus sudah menggebu-gebu. Dulunya sih, aku juga mayan aktif di SMP dan SMA. Bersaing dengan mereka yang kebanyakan juga sudah aktif organisasi sejak sekolah tak membuatku minder. Dengan kemampuan bicara dan kepercayaan diriku, aku cukup cakap menjawab pertanyaan kating himpunanku dalam seleksi wawancara. Ditambah lagi kemampuan menulisku yang setidaknya pernah diasah di SMA dengan mengikuti perlombaan karya ilmiah. Hanya sedikit bekal memang. Tapi, cukuplah untuk membuatku tidak terlalu minder.

Perjalanan menapaki dunia kampus kuawali dengan sok kenal dan sok dekat dengan beberapa kakak tingkat. Bertanya dan ngobrol dengan mereka adalah jalur ampuh untuk berkenalan dan mencuri ilmu mereka. Mulai membaca buku-buku pergerakan-walau kerap tidak tuntas- semata-mata sebagai bekal untuk diskusi. Lebih tepatnya agar aku tidak terlihat bodoh-bodoh amat di depan mereka. Dasar pencitraan, gak papa. Namanya juga belajar. Selain itu, aku beberapa kali  dipercayai menjadi moderator ataupun sekadar pemantik diskusi. Ya sudahlah, yang penting aku menikmatinya.

Ketertarikanku dengan berbagai diskusi membuatku semakin sadar akan kebodohanku. Ada saja ilmu dan pengalaman baru yang didapatkan. Aku tertarik di berbagai isu, seperti dunia pedidikan-sesuai jurusanku-, perihal climate change, hingga tentang pelecehan seksual. Salah satu reportaseku menghiasi laporan utama di majalah kampus. Beberapa liputan-liputanku juga terbit di dunia daring. Namun, entah kenapa hal itu seakan tak sejalan dengan jurusan kuliahku. Mereka kerap berseberangan. Atau aku saja yang belum bisa menyatukan mereka berdua. Kehidupan organisasiku seakan tidak mendukung nilai akademikku.

Berbagai diskusi yang sering aku ikuti mengajarkan aku untuk tidak kolot dengan ilmu dan berbagai pandangan. Sedangkan jurusanku selalu mengandalkan kepastian. Pendidikan Bahasa Arab, itulah jurusanku. Jurusan yang didominasi oleh lulusan pesantren, begitupun dosennya. Banyak kaidah yang harus aku tepati, agar tidak kena semprot dosen. Untungnya, beberapa mata kuliah tidak sesaklek itu. Aku pun bisa menyesuaikan dan mengontrol atmosfer belajarnya. Hal itu aku lakukan untuk menciptakan iklim belajar yang aktif dan kondusif. 

Selama empat tahun kuliah. Nilai-nilaiku tak  bisa dianggap buruk tapi juga tidak sebagus teman-temanku. Bagiku, nilai bukanlah tolak ukur kemampuan. Aku lebih berorientasi dengan pemahaman ketimbang nilai.  Bahkan, aku akan aneh jika mendapatkan nilai A padahal aku merasa tak pantas mendapatkannya. 

Membangun network dengan banyak orang adalah hal yang sangat penting untuk mengarungi kehidupan. Hal itu membuatku teringat dengan berlakunya hukum karma. Barang siapa berbuat baik, ia akan mendapatkan kebaikan juga. Hal itu berhubungan, jika kita selalu menjaga hubungan baik dengan banyak orang, Niscaya every thing  will be eazy.

Menginjak semester 9 ini, aku masih belum bisa fokus mengerjakan skripsi. Dan masih saja lebih asik dengan duniaku sendiri. Deadline skripsi seakan-akan hanya angin lalu. Sedangkan deadline yang lain aku utamakan. Mengenaskan sekali nasibmu, Nak. Semoga cepet dapet hidayah ya.

CEWEK JUGA BERHAK NYASAR DAN MENENTUKAN JALANNYA



Kenapa cewek gak boleh bepergian sendirian dan keluar malem? Kenapa cewek gak boleh nglakuin ini nglakuin itu dan lain sebagainya. Terkadang aku mikir, apa aku jadi cowok aja ya. Sebagai cewek yang gak cewek-cewek amat. Aku sering menghadapi perkataan kayak gini, “Sebenernya lho tu cewek apa cowok si? Heran bisa seberani itu,” kalimat kayak gitu baru contoh ya. Masih banyak bentuk pertanyaan lainnya.

Dilahirkan di desa, tidak harus membuatku minder dan penakut. Naik bus atau kereta sendirian malem-malem. Beberapa kali pulang malam dari luar kota bahkan luar provinsi, aku rasa hal yang biasa. Walaupun perasaan was-was pasti ada. Tapi hal itu gak bisa aku jadiin alasan untuk takut berlebihan. Yang paling penting, yaitu kudu yakin dan percaya sama Allah kalau Dia selalu bersama kita. 

Stereotip bahwa gak boleh pergi sendirian, gak boleh keluar malem, dan lain-lain sering aku tembus. Bukannya aku ingin menumbangkan pedoman itu, tapi lebih tepatnya karena memang keadaannya mengharuskan seperti itu aja. Dan aku gak harus manja dan merasa ribet dengan semua itu. Lagian aku masih bisa menyelesaikannya sendiri. Ya walaupun terkadang tak terpungkiri, aku juga minta bantuan orang lain sih. Selagi yang dimintain bantuan ikhlas, its okay. Lagian kita juga gak bagus menutup diri dan sok kuat. Malah jadi kayak iron girl nanti. Haha

Aku pernah bertanya pada bapakku. Kenapa aku gak boleh pergi sendirian? Aku berani kok. Lalu, ia menjawab, "Bapak tak tega melihat anak perempuanku nyasar-nyasar sendiri". Semenjak hari itu, aku jadi suka dengan kesasar. Aku begitu menikmati perjalanan nyasarku. Mengenal tempat baru, jalan baru,  jalur baru, dan orang baru. Kerap kali, sengaja aku tak menggunakan google map, agar aku mau bertanya-tanya kepada orang. Karena, pada kenyataannya bertanya membuatku mengingat betul setiap jalan dan gang yang aku lewati. Aneh ya. Tapi jangan dipraktekin kalo lagi ada acara yang  mendesak. Bisa-bisa malah gak jadi ngacara, eh malah keliling-keliling menikmati angin  kota. Haha

Semenjak kuliah dan tidak tinggal dengan orang tua. Aku jadi suka pergi-pergi tanpa ijin mereka. Asalkan tujuanku tidak buruk, mereka pasti merestui, pikirku. Tapi, pada kenyataannya mereka selalu bertanya kepadaku. “Pie, wis seko ngendi wae ndek wingi?”[1] belakangan aku ketahui, mereka tahu perjalananku dari whatsapp story yang  kerap lewat di ponsel mereka. Walaupun, sepertinya memang mereka tidak mau langsung mengomentari. Nyatanya, introgasi akan dimulai ketika  aku pulang ke rumah. Tapi, tak apa. Semuanya demi kebaikan. Biasanya, tanpa ditanya pun, aku juga kerap memamerkan kegiatanku di grub keluarga. Ya, walaupun responnya cuma singkat banget. Aku paham sih, mereka males ngetik banyak-banyak.

Kesimpulannya, dilahirkan sebagai cewek jangan sampai membatasi perkembangan dan kemampuan. Cewek juga berhak hidup mandiri, berani, dan kompeten. Bahkan, mereka juga harus banyak pengalaman dan berpendidikan. Mengingat ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Mereka memiliki peran sentral dalam menciptakan generasi yang berkualitas. Jadi, jangan pernah membatasi pergerakan mereka. Jadikanlah mereka partner-mu menjadi kuat. Berikanlah kepercayan dan tumbuhlah bersama.

Sebagai cewek pun perlu sadar peran dan posisi. Gak baik juga jika terlalu banyak menuntut kebebasan. Pahami juga kewajiban dan peran. Sebagai cewek yang terdidik dan berwawasan. Buktikanlah, bahwa sikapmu mencerminkannya. Mematuhi norma itu baik, namun jangan pernah memaksa orang lain mematuhinya juga. Hormatilah setiap keputusan orang lain, layaknya kamu ingin keputusanmu dihormati.

            Akhirnya, bercengkrama dengan segala sesuatu yang ada di semesta adalah kenyataan yang harus kita jalani. Perkara perihal keduniawian memang selalu memiliki 2 sisi. Ada yang membahagiakan dan ada yang menggelisahkan.

            Kalau dipikir-pikir, masalah yang sekarang aku alami, belum ada apa-apanya dibandingkan masanya wanita-wanita terdahulu. Yang mana hak mereka sering dirampas dan serba dibatasi pergerakannya. Bersyukurlah aku yang tinggal di zaman ini. Zaman dimana para orang tua mulai bisa membuka diri dan bersahabat dengan anaknya sendiri.

            Kesimpulannya, aku adalah aku. Apapun yang kalian ceritakan tentangku tak akan mengubah sikapku mengahadapi semesta. Karena keyakinanku kepada kebaikan semesta turah-turah[2]. Dan aku tidak akan berkejar-kejaran dengan siapapun untuk mendapatkan apapun. Menurutku, setiap kita memiliki waktu masing-masing untuk mendapatkannya. Tugasku sekarang dan sampai nanti adalah terus belajar. Aku akan tetap mengusahakan, walau sering mumet[3]. Urep, nak ra gelem ndwe masalah, yo kono mati wae[4]. Keep going on, Dear 

"Semesta sungguh baik bukan?" bisikku dalam hati. 

Btw, semoga Allah senantiasa memudahkan setiap perjalanan belajar kita. 

[1] Gimana? Sudah sampai mana saja kemaren? (Bahasa Jawa)

[2] Lebih-lebih (Bahasa Jawa)

[3] Pusing (Bahasa Jawa)

[4] Hidup, kalau tidak mau punya masalah, ya sudah sana mati aja (Bahasa Jawa)

 

Rabu, 22 April 2020

Kenapa Harus Kuliah Sekaligus Mondok?


Kenapa Harus Kuliah Sekaligus Mondok?

Prioritas itu perlu dan akan selalu dibutuhkan./doc.cio.com


Mari kita awali tulisan ini dengan sedikit umpatan toyyibah, Bismillahirrohmanirrohim. Ditakdirkan menjadi seorang mahasantri, alias mahasiswa yang sekaligus nyantri adalah sebuah nikmat sekaligus musibah. Nikmat bagi mereka yang tidak pernah di-ta’dzir (dihukum) dan musibah bagi mereka yang langganan dihukum.
Membagi waktu antara kuliah dan mondok memang tidak semudah mengatakannya “ya ditentukan prioritasnya, dong,” kata itu tergelontor mudah dari mulut mereka, manusia-manusia yang tidak menjalaninya. Teorinya,  tentukan prioritasnya saja. Lalu, bagaimana kalau kita sulit menentukan prioritasnya, mengingat kedua-duanya memiliki konsekuensi yang tidak ringan. Tentu saja sebagai mahasantri yang sudah tidak kecil lagi (read: dewasa), tentunya  dianggap sudah bisa menentukan prioritas dan menerima segala konsekuensi.
Namun, sebagai manusia biasa yang pasti memiliki sisi lemah dan tak berdaya, ia juga bisa tumbang dan stress juga. Dikala kampus sedang menuntut dengan setumpuk tugas kelompok dan take home. Sedangkan, pondok menuntut kita belajar dengan tekun karena kejar tayang sebelum imtihan (ujian). Beuh sekali hidup kamu. Belum lagi kalau kamu aktif di organisasi. Udah ikut organisasi kampus, eh jadi pengurus pondok pula. Mantap nian kenikmatan hidup lho. Nah, kali ini bakal aku jelasin beberapa fakta menarik jadi mahasantri.
1.       Dianggap Keren
Ya gimana nggak dianggap keren, mereka bisa membagi waktu mereka untuk kuliah dan nyantri. Kuliah jalan, nyantri juga jalan. Tugas kuliah clear, ta’dhim sama Kiai juga tetep. Ilmu akhirat dapet, ilmu duniawi juga kena.
2.       Dimudahkan Urusannya
Bagi kalian yang percaya penuh dengan barokah Kiai pasti paham. Dimana kalau kita hormat dengan guru, ilmunya itu akan bermanfaat dan dimudahkan dalam segala urusan. Hal ini juga terjadi di kalangan santri, ada aja keajaiban yang terjadi.
3.       Tidur di Kelas Sudah Biasa
Sering kali, mereka tidur di kelas karena terlalu padetnya agenda di pondok. Sudah agendanya banyak, masih lagi setelah itu ngerjain tugas kuliah. Mantap betul kesehariannya. Sampai ada ungkapan, “Tidur siang adalah hoax, dan tidur malam itu kelangkaan.” Bukannya gimana, mahasantri tidurnya dini hari, bukan malem lagi. Lha wong jam 2 esuk lagi mapan kok.
4.       Langganan Dihukum
Dilematis memang, tugas kelompok belum kelar, eh senja sudah menyerbu. Ini saatnya anak pondok harus pulang. Kalau peran kamu di tugas itu penting banget dan sudah deadline, beuh terpaksa deh tuh, pulang telat ke pondok. Dan apa konsekuensi yang harus diterima saat pulang telat? Ya pasti dihukum.
5.       Dianggap Aktivis
Dibandingkan mereka yang hanya tidur, bangun, ngising, makan, ngaji, dan nge-ghibah. Jelas kami yang nyantri sekaligus aktif di kampus bakal keliatan menonjol. Mulai dari langganan dihukum, langganan sandal di-ghosob, sampai langganan yang agak keren dikit, yaitu jadi panitia di acara pondok. Tidak bisa dipungkiri, pengalaman mereka yang aktif di kampus juga dibutuhkan di pondok pesantren. Pun sebaliknya sih, kemampuan santri juga  dibutuhin di organisasi kampus. Apalagi kalau bukan langganan mimpin doa dan qiro’, pokoknya yang hawa-hawa ada sangkut pautnya sama agama pasti langsung dilempar ke  mahasiswa yang nyantri.
6.       Sok Sibuk
Mereka yang aktif di kampus pasti banyak agenda yang harus dihadiri. Maka dari itu, mereka sok sering ijin nggak ikut ngaji karena ‘ngacara’. Masih alhamdulillah kalau diijinin, kalau gak diijinin, dan si santri tetep nekat karena kepepet. Matilah riwayatnya (read: dihukum). Waktu di pondok pun, kadang pikiran mereka yang masih di kampus. Sedangkan kalau lagi di kampus, pikiran mereka meronta-ronta tentang pondok.

Berikutlah beberapa fakta unik  yang dialami oleh mahasantri. Ada santri yang pandai membagi waktu sehingga keduanya berprestasi. Namun, tak jarang salah satunya akan terkorbankan.
Bagi kalian yang sedang berada di posisi yang tak jauh beda, atau bahkan sama. Yang tenang ya, Allah bakal kasih jalan terbaik kok. Jalanin aja dulu. Kayak aku ini, sekarang baru ngrasain kalo kuliah sambil jadi santri tuh ternyata ada manis-manisnya gitu. Padahal mah, awal bayanginnya berattt banget. Kayaknya aku gak bakal kuat. Eh ternyata, sekarang udah bisa ngerasian manfaatnya. Jadi, jangan ragu kuliah sekaligus mondok ya.


Minggu, 19 April 2020

PERSAHABATAN DI UJUNG JALAN


TAHUN PERTAMA KEBAPERAN
Seperti kemustahilan. Persahabatan antara pria dan wanita yang berjalan tanpa rasa./ doc.tribunnews.com


Satu tahun mengenalmu membuatku cukup paham apa-apa yang berubah darimu. mulai dari berat badanmu yang menurun hingga sikap malu yang telah berubah menjadi berani. Sebuah hubungan yang aku anggap lebih dari teman biasa. Setiap kita menggenggam rahasia satu sama lain. Saling medengar dan memahami semua rasa selama setahun ini.
Jika aku ditanya, apakah aku bahagia? Sebenarnya biasa saja. Kebahagiaanku adalah ketika angan-anganmu semenjak satu tahun silam telah terwujud. Ya, mengenalnya lebih dekat dan bersamanya. Misi yang mengawali perkenalanku dengamu. Dan sekarang, misi itu mulai terwujud. Syukurlah.
Seperti yang aku jelaskan di atas. Perkenalanku denganmu diawali oleh sebuah misi. Misi menaklukkan hatinya-wanitamu- sekarang. Dan kedekatan kita berakhir ketika kalian telah bersama. Betapa bahagianya diriku saat itu.
Namun, sepertinya ada yang perlu diluruskan dari persahabatan ini. Apa kau kira persahabatan ini akan berujung kebaperan? Lalu, kau rela melepaskannya. Ku kira mungkin saja begitu. Tapi, bagiku semua ini tetap bisa berjalan. Kau masih bisa bercerita tentangnya. Dan aku masih bercerita tentang siapapun. Ya, seperti semula.
Tentu, narasi yang tak seberapa panjang ini tidak akan bisa menggambarkan betapa aku menyayangkan hal itu terjadi. Tapi, ya sudahlah. Sekarang, kau sibuk dengannya. Dan aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Aku pun berpikir. Apa benar? Kau mengakhiri semua ini karena sebuah kata ‘sahabat’. Benar. Persahabatan antara pria dan wanita adalah halu.