Menjadi bagian semesta adalah sebuah tanggng jawab yang tidak ringan. Pergolakan semesta selalu terjadi di semua segi kehidupan makhluk yang menempatinya. Secara lebih luas semesta adalah kumpulan unsur yang heterogen yang membentuk keberadaan. Lebih sempitnya, semesta bisa dikatakan diri kita sendiri dengan sejuta perdebatan sengit di dalamnya.
Sinergitas yang terjadi di semesta
telah menciptakan berbagai peradaban. Dan aku adalah salah satu bagian
dari peradaban itu. Aku tidak banyak tahu tentang kehidupan atau pergerakan
semesta. Yang aku tahu adalah keberpihakan semesta kepadaku setiap waktu. Kerab
berkelahi dengan perasaan di dalam diriku sendiri, membuat aku sadar semesta
tidak akan melakukan hal buruk.
Berkelahi dengan diri sendiri? Apa yang kamu maksud? Banyak, mulai dari perihal asmara, mental, sampai pendidikan. Nah, kali ini aku bakal sedikit menumpahkan kegelisahanku sebagai manusia dengan usia 21 tahun, yang lagi gencar-gencarnya mencari jati diri. Asekkkk. Kegelisahan yang sering muncul dan membuatku over thinking sebelum tidur beberapa bulan ini adalah perihal kuliah. Ada banyak pertanyaan yang menyeruak di kepala, namun yang terjawab cuma gak setengahnya. Dahlah... cuz baca bawahnya.
Kuliah, apa yang kamu cari? Pertanyaan ini kerap muncul di
benak-benak mahasiswa karatan kayak aku. Apalagi ditambah kegelisahan melihat
teman udah sidang skripsi, sedangkan, judulku aja belom acc. Aku sempat
berpikir. Apakah social networking yang aku bangun selama ini not
working. Aktif di himpunan sejak awal kuliah, jadi pegiat pers mahasiswa. Ikut
diskusi sana sini. Kegiatan ini itu. Liputan kesana kemari. Masih kurang aktif
apa coba. Apakah keaktifanku tidak working menyegerakan kelulusanku? Uwuw~
Sejak awal masuk kuliah, keinginanku untuk aktif di organisasi
kampus sudah menggebu-gebu. Dulunya sih, aku juga mayan aktif di SMP dan SMA. Bersaing
dengan mereka yang kebanyakan juga sudah aktif organisasi sejak sekolah tak
membuatku minder. Dengan kemampuan bicara dan kepercayaan diriku, aku cukup
cakap menjawab pertanyaan kating himpunanku dalam seleksi wawancara. Ditambah
lagi kemampuan menulisku yang setidaknya pernah diasah di SMA dengan mengikuti perlombaan
karya ilmiah. Hanya sedikit bekal memang. Tapi, cukuplah untuk membuatku tidak terlalu
minder.
Perjalanan menapaki dunia kampus kuawali dengan sok kenal dan sok
dekat dengan beberapa kakak tingkat. Bertanya dan ngobrol dengan mereka adalah
jalur ampuh untuk berkenalan dan mencuri ilmu mereka. Mulai membaca buku-buku
pergerakan-walau kerap tidak tuntas- semata-mata sebagai bekal untuk diskusi. Lebih
tepatnya agar aku tidak terlihat bodoh-bodoh amat di depan mereka. Dasar pencitraan, gak papa. Namanya juga belajar. Selain itu, aku beberapa kali dipercayai menjadi moderator ataupun
sekadar pemantik diskusi. Ya sudahlah, yang penting aku menikmatinya.
Ketertarikanku dengan berbagai diskusi membuatku semakin sadar akan kebodohanku. Ada saja ilmu dan pengalaman baru yang didapatkan. Aku
tertarik di berbagai isu, seperti dunia pedidikan-sesuai jurusanku-, perihal climate
change, hingga tentang pelecehan seksual. Salah satu reportaseku menghiasi
laporan utama di majalah kampus. Beberapa liputan-liputanku juga terbit di
dunia daring. Namun, entah kenapa hal itu seakan tak sejalan dengan jurusan
kuliahku. Mereka kerap berseberangan. Atau aku saja yang belum bisa menyatukan
mereka berdua. Kehidupan organisasiku seakan tidak mendukung nilai akademikku.
Berbagai diskusi yang sering aku ikuti mengajarkan aku untuk tidak
kolot dengan ilmu dan berbagai pandangan. Sedangkan jurusanku selalu
mengandalkan kepastian. Pendidikan Bahasa Arab, itulah jurusanku. Jurusan yang
didominasi oleh lulusan pesantren, begitupun dosennya. Banyak kaidah yang harus
aku tepati, agar tidak kena semprot dosen. Untungnya, beberapa mata kuliah
tidak sesaklek itu. Aku pun bisa menyesuaikan dan mengontrol atmosfer
belajarnya. Hal itu aku lakukan untuk menciptakan iklim belajar
yang aktif dan kondusif.
Selama empat tahun kuliah. Nilai-nilaiku tak bisa dianggap buruk tapi juga tidak sebagus
teman-temanku. Bagiku, nilai bukanlah tolak ukur kemampuan. Aku lebih
berorientasi dengan pemahaman ketimbang nilai.
Bahkan, aku akan aneh jika mendapatkan nilai A padahal aku merasa tak
pantas mendapatkannya.
Membangun network dengan banyak orang adalah hal yang sangat
penting untuk mengarungi kehidupan. Hal itu membuatku teringat dengan berlakunya
hukum karma. Barang siapa berbuat baik, ia akan mendapatkan kebaikan juga. Hal
itu berhubungan, jika kita selalu menjaga hubungan baik dengan banyak orang, Niscaya
every thing will be eazy.
Menginjak semester 9 ini, aku masih belum bisa fokus mengerjakan
skripsi. Dan masih saja lebih asik dengan duniaku sendiri. Deadline skripsi
seakan-akan hanya angin lalu. Sedangkan deadline yang lain aku utamakan.
Mengenaskan sekali nasibmu, Nak. Semoga cepet dapet hidayah ya.